TANGIS menyelimuti sepak bola Indonesia. Di tengah karut-marut
kompetisi dan perseteruan sejumlah pengurus yang makin mengecewakan,
publik pencinta sepak bola Tanah Air kembali harus menyaksikan darah
puluhan pemuda tertumpah di lapangan sepak bola. Kegembiraan
menyaksikan permainan indah itu, kini seakan telah berubah menjadi
olahraga yang amat menakutkan.
Sepak bola sejatinya memang tak
bisa lepas dari unsur fanatisme yang terkadang berujung kekerasan
maupun perkelahian para pendukung setia sejumlah klubnya. Tidak hanya
di Indonesia, untuk level dunia pun sudah banyak bukti nyata yang
menggambarkan bahwa olahraga tersebut bukan lagi sekadar pertarungan
antara 22 manusia di dalam lapangan.
Masih lekat di benak
pencinta bola, insiden berdarah yang terjadi di Liga Mesir, Febuari
lalu. Seusai laga antara tuan rumah Al-Masri melawan Al-Ahly itu, 73
jiwa melayang sia-sia di atas rumput Stadion Port Said karena kerusuhan
antarsuporter kedua tim. Dengan menggunakan pisau, kayu, dan benda
tumpul lainnya, pendukung fanatik Al-Masri secara beringas menganiaya
pendukung Al-Ahly di tengah lapangan.
Untuk level lebih tinggi,
pertemuan Juventus dan Liverpool di final Liga Champions di Stadion
Heysel, Brussels, Belgia, menjadi salah satu sejarah kelam sepak bola.
Pertandingan dua raksasa Eropa pada 29 Mei 1985 itu diwarnai insiden
tragis. Ejekan suporter kedua tim tersebut membuat emosi pecah hingga
membuat pagar yang pemisah kedua suporter roboh. Walhasil, kericuhan
terjadi dan 39 suporter tewas akibat peristiwa ini.
Nyawa tak berdosa
Sejumlah contoh itu memang lebih jauh menakutkan jika dibandingkan
dengan apa yang terjadi di Indonesia. Akan tetapi, segala bentuk
tindakan apa pun, sangat disayangkan apabila hingga memakan korban jiwa.
Apalagi, selama tiga bulan terakhir, sembilan anak Negeri telah
meregang nyawa akibat sepak bola Indonesia.
Pada Jumat
(9/3/2012) malam, rombongan suporter Persebaya Surabaya yang hendak
menuju Bojonegoro untuk mendukung timnya berlaga melawan Persibo
dilempari batu oleh warga saat kereta api barang yang ditumpanginya
masuk wilayah Babat, Lamongan. Sontak, kepanikan terjadi. Beberapa
suporter yang berusaha menghindar kemudian terjatuh karena tersangkut
kabel.
Akibat insiden itu, lima nyawa "Bonek Mania"—sebutan
pendukung setia Persebaya—melayang. Sebanyak 18 pendukung lainnya
mengalami luka-luka karena terkena lemparan batu dan terjatuh dari atas
kereta api yang membawa mereka.
Dua bulan berselang, giliran
Stadion Gelora Bung Karno, Jakarta, yang menjadi saksi tiga darah
pemuda mengalir di dunia sepak bola Indonesia. Adalah Lazuardi (29),
warga Menteng, Jakarta Pusat, yang tewas setelah dianiaya suporter
seusai menyaksikan laga klasik antara Persija Jakarta dan Persib
Bandung dalam lanjutan ISL. Nyawa dua orang lainnya, Rangga Cipta
Nugroho (22) dan Dani Maulana (16), pun turut terenggut dalam insiden
itu.
Tak sampai sepekan, Minggu (3/6/2012) malam, seorang
"Bonek Mania", Purwo Adi Utomo, juga menjadi korban kejamnya sepak bola
Indonesia. Pemuda yang masih berstatus sebagai pelajar kelas III SMK
Negeri 5 Surabaya itu tewas terinjak-injak dalam kericuhan antara
suporter dan aparat keamanan seusai laga Persebaya melawan Persija
Jakarta dalam lanjutan IPL di Stadion Gelora 10 Nopember, Tambak Sari,
Surabaya.
Aparat vs fanatisme
Sejumlah
kenyataan menyedihkan tersebut kini terpampang jelas dalam dunia sepak
bola Indonesia. Sangat disesalkan, olahraga yang digadang-gadang penuh
sportivitas itu harus dirusak oleh sejumlah pendukung maupun segelintir
pihak lain yang tidak bertangung jawab. Tak ayal, penyesalan dan kecaman
pun datang dari beberapa insiden berdarah tersebut.
"Sepak
bola Indonesia ini sudah rusak, jadi jangan ditambahi dengan
masalah-masalah seperti ini. Sepak bola seharusnya tidak sampai seperti
ini. Sampai kapan lagi sepak bola harus kehilangan nyawa-nyawa yang
tidak perlu," sesal kapten Persija, Bambang Pamungkas, menanggapi
sejumlah insiden berdarah itu.
Sosiolog Imam B Prasodjo
berpendapat, kekerasan yang dilakukan suporter sepak bola merupakan
bentuk emosional primitif yang mengarah ke perlakuan hewani. Jika tidak
segera diselesaikan, proses kristalisasi sebagai kelompok suporter
yang selalu menganggap lawannya adalah musuh, kekerasan itu masih terus
terjadi dan bisa mengeras lagi.
"Yang menjadi perekat
kelompok suporter adalah rasa kekitaan yang sangat emosional.
Akibatnya, orang beranggapan bahwa di luar kelompok saya adalah musuh.
Jika dibiarkan, nantinya kelompok ini bisa masuk ke dalam lingkaran
budaya kekerasan yang menjadikan mereka bertindak sebagai mesin yang
membenci kelompok lain," ujar Imam.
Memang, selain fanatisme
sempit di setiap insiden berdarah dalam sepak bola itu memang juga tak
bisa dilepaskan dari peran aparat dalam mengamankan sebuah
pertandingan. Sebab, tak jarang, mereka pun dinilai bertanggung jawab
atas sejumlah insiden itu. Tidak hanya di Indonesia, tragedi
Hillsborough antara Liverpool dan Nottingham Forest pada 1989 menjadi
kritik keras buat aparat keamanan yang dinilai teledor.
Guru Besar Kriminolog Universitas Indonesia, Adrianus Meliala, saat dihubungi Kompas.com di
Jakarta, Senin (4/6/2012) malam, menilai aparat harus merancang
bermacam usaha mencegah konflik di antara para suporter. Ia menilai,
prosedur itu harus juga dilaksanakan secara baik ketika mengamankan
suatu pertandingan besar yang identik dengan pendukung kesebelasan yang
fanatik.
"Polisi pasti memiliki pertimbangan lain, karena tugas polisi adalah menciptakan public order.
Memang perlu ada evaluasi kedua belah pihak. Jika polisi salah
menerapkan tugasnya, silakan diperiksa. Tetapi, suporter juga harus
sadar diri untuk tetap tertib dan tidak membuat masalah. Saya yakin,
jika tidak ada hal-hal aneh, insiden itu tidak akan pernah terjadi,"
ujar Adrianus.
Respons dan tindakan nyata
Terlepas sebab muasal dari insiden berdarah tersebut, hilangnya puluhan
nyawa itu telah menambah buruk sejarah kelam sepak bola Indonesia.
Belum ada cara, respons, dan tindakan tegas untuk menyelesaikan
persoalan itu secara nyata. Memang bukan pekerjaan mudah. Tapi, apakah
sebanding jika olahraga favorit jutaan rakyat Indonesia ini terus
memakan korban jiwa?
Lihat saja, Pemerintah Mesir langsung
menghentikan seluruh kegiatan sepak bolanya akibat insiden berdarah di
Port Said. Seluruh tim sepak bola Inggris pun berbesar hati rela
menerima hukuman larangan tanding di kompetisi Eropa selama lima tahun
dari FIFA atas ulah pendukung Liverpool dalam tragedi Heysel yang
terjadi 27 tahun silam. Hasilnya, respons itu pun berbuah nyata, yakni
sepak bola mereka dapat berkembang jauh lebih baik.
Bagi
suporter, tak berlebihan juga jika mereka mencontoh rivalitas sejumlah
klub luar negeri. Lihat saja perseteruan antara Barcelona-Real Madrid
ataupun AC Milan-Inter Milan. Alasan kebencian yang mendarah daging
dalam benak pendukung keempat tim itu yang berkaitan dengan sejarah
panjang perjalanan bangsa mereka, bahkan jauh lebih kuat jika
dibandingkan dengan fanatisme suporter di Indonesia.
Namun,
bagi Barcelona, Madrid, Milan, maupun Inter, rivalitas yang
mengakibatkan pertumpahan darah adalah warisan kuno yang tak pantas
dilakukan di era modern saat ini. Rivalitas dan fanatisme, bagi mereka,
telah bertransformasi menjadi pertarungan sehat dan sengit di dalam
lapangan. Sepak bola pun akan kembali pada hakikatnya, yakni sebagai
permainan indah 22 manusia di atas rumput!
Melihat sejumlah
fakta itu, sangat pantas jika pertanyaan besar disematkan kepada para
suporter, pengurus, serta penanggung jawab sepak bola Indonesia. Kini,
semuanya kembali pada kemauan dan keseriusan mereka membangun olahraga
itu tanpa ada lagi ratapan tangis dan air mata, apalagi darah
tertumpah. Sangat picik jika olahraga indah itu hanya terus menjadi
penyumbang duka puluhan pemuda yang meregang nyawa akibat sepak bola.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar