ALKISAH, 1
Juni 1945, Soekarno memberi pidato menggebu, serbuan kata untuk
mengenalkan Pancasila. Seruan Soekarno mengena dan impresif. Hadirin
terkesima, takzim menerima untaian penjelasan. Hari itu, sejarah
Indonesia terbentuk oleh olah gagasan idealitas.
Konsensus bergerak, menjadikan Pancasila sebagai dasar negara. Lima sila di-jlentreh-kan dengan memakai referensi sejarah, politik, kearifan lokal, agama, ekonomi, dan situasi global.
Nostalgia atas peristiwa
tersebut membekas saat Soekarno mengucap: ”… di atas kelima dasar itulah
kita mendirikan negara Indonesia, kekal dan abadi.” Konon, usai itu
hadirin di sidang BPUPKI memberikan tepuk tangan riuh. Sejarah dibentuk
oleh Soekarno dan tepuk tangan untuk idealitas Indonesia. Sejak itulah,
penguasa memerlukan pengesahan dan sebaran nilai-nilai Pancasila
melalui pelbagai perangkat dan niat.
Pancasila intensif
ditafsirkan dan mengalami pembakuan menurut kemauan rezim. Rakyat
hidup dalam belaian dan buaian Pancasila. Kita mengenangkan eksistensi
Pancasila melalui buku, pidato, kursus, mata pelajaran, lagu, seni
pertunjukan. Setelah kejatuhan Orde Lama, Soeharto pun membuat
sakralitas Pancasila melalui penataran P-4 secara sistematis dan kontrol
politik.
Tafsir Longgar Soeharto
memberi aksentuasi perbedaan atas Pancasila dengan ”menjauhkan”
Pancasila dari sosok dan gagasan Soekarno. Tafsiran Pancasila ada di
tepian sejarah karena tendensi manipulasi dan politik ilusif.
Proyek politik Soeharto atas
Pancasila terdokumentasikan dalam buku Pandangan Soeharto tentang
Pancasila (1976). Soeharto menjelaskan, ”Pancasila bagi kita adalah
masalah hidup matinya bangsa Indonesia. Retorika puitis, tapi membuat
Indonesia bergerak dengan nalar politik kepatuhan dan represi
ideologis”.
Segala imperatif dan kontrol
diacukan atas nama Pancasila. Kita pun bisa mengerti maksud Soeharto,
”Kita tidak akan memerosotkan Pancasila hanya menjadi semboyan kosong
atau bahan propaganda murah.” Sejarah membuktikan bahwa Pancasila
justru mengasingkan kita dan membuat kebosanan tak reda oleh
indoktrinasi tiap detik demi kelanggengan rezim Orde Baru.
Situasi represif itu menjadi
parodi dalam biografi politik seorang tapol di Buru: Supardjo. Lelaki
itu suka memelesetkan lagu-lagu dengan pamrih politis. Represi Orde
Baru diladeni dengan subversi agar diri tidak mampus oleh indoktrinasi.
Sosok Supardjo meninggalkan kesan mendalam untuk Hersri Setiawan dalam
pengisahan di Memoar Pulau Buru (2004).
Penghormatan atas Supardjo dan kisah para tapol dituliskan dalam
puisi kritis, satire atas sakralitas Pancasila, tapi asing di mata
rakyat. Puisi ini mengisahkan tradisi upacara bendera bagi para tapol di
Pulau Buru sebagai strategi mencipta kepatuhan dan indoktrinasi.
Ada nukilan mengejutkan
untuk pengan daian adegan mendengarkan pembacaan teks Pancasila. Hersri
Setiawan menulis: pancasila!/ satu: ketuhanan yang berbintang/ dua:
kemanusiaan yang dirante/ tiga: persatuan di bawah beringin/ empat:
kerakyatan yang dipimpin oleh kerbau/ lima: keadilan sosial di
kuburan. Puisi ini tafsiran menjauh dari uraian P-4 ala Orde Baru, tapi
mengajak pembaca untuk mengimajinasikan-memvisualkan Pancasila di
tubuh lambang garuda. Puisi ini representasi nasib Pancasila oleh
ulah politik tanpa memberi kebebasan tafsir bagi rakyat. Soeharto
menghendaki tafsir tunggal dan ketat. Pancasila jadi gaung politik Orde
Baru. Hari ini Pancasila disuarakan ulang oleh kaum politisi,
intelektual, seniman, dan ulama. Kondisi bangsa tampak rapuh dalam
basis karakter, kepribadian, etika politik, kemanusiaan, adab,
toleransi. Korupsi, radikalisme, kriminalitas, terorisme, dan
kapitalisasi pendidikan jadi momok untuk ambisi memartabatkan bangsa.
Segala krisis memberikan
sengatan. Pancasila hampir terlupakan, terkuburkan, dan terasingkan
dari biografi Indonesia mutakhir. Situasi ini membuat kita mesti
mengingat ulang babak-babak historis kelahiran dan indoktrinasi
Pancasila. Kita juga mesti membuka diri untuk tafsir inklusif dan
kritis. Arief Budiman (2002) mengingatkan, ”Pancasila itu pakaian
longgar sekali untuk bisa dipakai siapa saja”.
Ilham di Bawah Pohon
Ingatlah kita tentang pengakuan Soekarno dalam buku Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat (1966)
susunan Cindy Adams. Soekarno mengalami situasi mistis, ”Di Pulau
Bunga yang sepi tak berkawan, aku telah menghabiskan waktu berjam-jam
lamanya merenung di bawah pohon. Ketika itulah, datang ilham yang
diturunkan oleh Tuhan mengenai lima dasar falsafah hidup yang sekarang
dikenal dengan Pancasila.
Aku tidak mengatakan bahwa
aku menciptakan Pancasila. Apa yang kukerjakan hanyalah menggali tradisi
kami jauh sampai ke dasarnya dan keluarlah aku dengan lima butir
mutiara yang indah.” Pancasila adalah ”ilham” dan ”mutiara indah”,
tetapi para penguasa kerap mengartikan sebagai ”senjata” mencipta
ketertiban, kepatuhan, dan homogenisasi atas nama pragmatisme rezim
politik.
Kita mesti mengenangkan itu
sebagai momentum mengangankan dan menggerakkan Indonesia. Optimisme
ada, tapi bergantung pemaknaan atas Pancasila secara produktif.
Pancasila digunakan untuk acuan realisasi kerukunan, perdamaian,
kesejahteraan, demokrasi, penghormatan hak asasi manusia, dan
manifestasi religiusitas. Makna-makna pokok ini justru kerap dibelokkan
oleh oportunisme politik dan sengketa kekuasaan.
Kita mesti merefleksikan
ulang tafsir Pancasila dan mencari titik temu historis melalui alur
sejarah Indonesia. Tafsir diaktualisasikan untuk mendefinisikan
Indonesia mutakhir dalam selebrasi idealitas dan realitas. Yudi Latif
dalam Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas Pancasila (2011) juga mengingatkan tentang membumikan Pancasila sebagai pantulan cita-cita dan kehendak bersama.
Pancasila mesti hidup dalam
realitas, tidak sekadar menjadi retorika atau verbalisme di pentas
politik. Sejarah sebaran dan penanaman nilai-nilai Pancasila pada masa
silam mungkin telah usang, menjelma memori muram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar