Selasa, 05 Juni 2012

Pemimpin Jangan Lupakan Pancasila

Satu Juni sebagai Hari Lahir Pancasila negara kita, Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara Republik Indonesia. Pertanyaannya, bagaimana kita memaknai dan apa saja yang harus menjadi refleksi kita bersama dalam memperingati hari lahirnya Pancasila. Ini supaya jangan hanya menjadi seremonial belaka.
Kita boleh melihat sedikit ke belakang, bagaimana Pancasila itu terbentuk sebagai ideologi dan dasar Negara RI. Sejarah itu jangan sampai kita lupakan, jangan sesekali kita melupakan sejarah.
Pancasila sebagai dasar filsafat serta ideologi bangsa dan Negara Indonesia, bukan terbentuk secara mendadak serta bukan hanya diciptakan oleh seseorang sebagaimana yang terjadi pada ideologi-ideologi lain di dunia. Namun terbentuknya Pancasila melalui proses yang cukup panjang dalam sejarah bangsa Indonesia. Secara kausalitas, Pancasila sebelum disahkan menjadi dasar filsafat negara, nilai-nilainya telah ada dan berasal dari bangsa Indonesia sendiri berupa nilai-nilai adat-istiadat, kebudayaan, dan nilai-nilai religius.
Kemudian para pendiri Negara Indonesia mengangkat nilai-nilai tersebut, dirumuskan secara musyawarah mufakat berdasarkan moral yang luhur, antara lain dalam sidang-sidang BPUPKI pertama, sidang Panitia Sembilan yang kemudian menghasilkan Piagam Jakarta yang memuat Pancasila yang pertama kali. Kemudian dibahas lagi dalam sidang BPUPKI kedua. Setelah kemerdekaan Indonesia sebelum sidang resmi PPKI, Pancasila sebagai calon dasar filsafat negara dibahas serta disempurnakan kembali, dan akhirnya pada 18 Agustus 1945 disahkan oleh PPKI sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia.
Sedikit mengingatkan kita, supaya kita tidak melupakan sejarah lahirnya Pancasila, banyak sekali yang harus menjadi refleksi kita bersama pada hari lahirnya Pancasila. Tentunya yang berkaitan dengan Pancasila sebagai ideologi dan dasar Negara RI. Di antaranya ada beberapa yang berkaitan dengan pendidikan Pancasila.
Pertama, Pendidikan Pancasila jangan sampai termarginalkan. Kedua, Pendidikan Pancasila jangan cuma hafalan, dan ketiga, jangan sesekali mengabaikan Pendidikan Pancasila karena itu akan berdampak sangat buruk. Keempat, banyak sekali pelanggaran-pelanggaran terhadap nilai-nilai Pancasila, dan kelima, bagaimana dengan pemimpin yang melupakan Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara ini.
Pemimpin jangan sesekali melupakan Pancasila. Hal ini yang ingin dibahas kali ini, bahwa seorang pemimpin apa pun dia tetap harus berpegang teguh pada Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara. Nilai-nilai keutamaan yang dikandung Pancasila tidak lagi menjadi acuan para elite politik. Pancasila sekadar tercantum dalam anggaran dasar/anggaran rumah tangga.
Para elite malah terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme. Keprihatinan tersebut diungkapkan oleh Sekretaris Eksekutif Komisi Hubungan Antaragama dan Kepercayaan Konferensi Waligereja Indonesia Benny Susetyo Pr serta Pengasuh Pondok Pesantren Al Mizani Majalengka KH Maman Imanulhaq, Kamis (31/5).
Pembiaran atas tindakan kelompok intoleran yang mencederai kehidupan beragama menurut Maman, menunjukkan runtuhnya kehidupan bangsa yang berdasarkan Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Sikap dan perilaku para elite politik pun terjebak dalam pragmatisme dan transaksionalisme.
Hal ini terbukti dengan semakin panjangnya daftar koruptor dan kasus korupsi di lingkaran kekuasaan. Pancasila diabaikan. Negara tidak mempunyai acuan filosofis kebangsaan dan kenegaraan. NKRI dikepung perilaku elite dan ideologi asing. Negara kita adalah negara yang sedang dicabik-cabik korupsi. Seharusnya para pemimpin menjadi ujung tombak dengan tidak melupakan Pancasila untuk menegakkan keadilan di negeri yang sedang kacau ini.
Pancasila sebagai ideologi dan dasar negara seharusnya menjadi menu utama dalam mengembangkan jati diri negara ini dan menegakkan keadilan, membersihkan negara ini dari korupsi yang membuat masyarakat tidak bisa tidur dengan tenang.
Para elite malah mencari ideologi lain, seperti pragmatisme dan transinternasional, untuk mengganti Pancasila. Nilai-nilai Pancasila malah tidak mendasari kebijakan publik dalam mengolah kehidupan berbangsa dan bernegara. Akibatnya, bangsa ini selalu mencari identitas diri. Banyak energi terbuang percuma hanya untuk berdebat soal ideologi.
Semestinya energi lebih digunakan untuk membangun bangsa menjadi bangsa yang sejahtera dan berkeadilan. “Pancasila belum sungguh-sungguh menjadi pedoman kehidupan bangsa ini. Sepanjang Orde Baru, Pancasila pernah diperalat untuk melanggengkan kekuasaan,” kata Benny dalam seminar “Mari Bersatu dan Bersaudara di Bawah Panji Pancasila” di Ende, Nusa Tenggara Timur, Kamis (31/5).
Pada era reformasi, katanya, nilai-nilai dari lima sila itu diabaikan dan dilalaikan dalam semua perikehidupan kita. Pancasila belum mewujud dalam nilai-nilai etis para penyelenggara negara dan elite bangsa ini.
Praktik korupsi dan penindasan justru semakin menjadi-jadi. Para elite menjadi buas, rakus, dan tamak. Dalam praktik keagamaan, kerukunan bukan menjadi inti kehidupan bersama-sama. Para koruptor telah membentuk negaranya sendiri di negeri ini yang dilindungi dengan tembok raksasa, sehingga sulit sekali untuk menjebak mereka ke dalam sumur tanpa dasar supaya mereka tidak lagi mencabik-cabik negeri ini dengan korupsinya. Pemerintah dalam memberantas korupsi ini seakan bermain dalam lingkaran api.
Jika semua pemimpin tidak melupakan Pancasila, tentunya negeri ini ibarat sebuah istana yang sangat rapi. Pemerintah seakan terjebak deskripsi-deskripsi yang membunuh mereka ke dalam doktrin-doktrin beku dalam memberantas korupsi. Pancasila tetap kita junjung tinggi sebagai dasar negara. Diharapkan semua pemimpin jangan melupakan Pancasila. Jadilah pemimpin yang visioner dan berkarakter. Dua hal itulah yang diharapkan oleh seorang Ketua Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI) Romo Benny Susetyo.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar